Saturday, September 18, 2010

Just A Little Fairy Tale For You - Chapter 2. When We Started To Hoping


Chapter 2. When We Started To Hoping




       Esoknya, hari senin. Bell kembali melakukan rutinitasnya, setelah sarapan ia segera turun dari tempat tidurnya. Kakinya ia tapakkan keatas sebuah sandal yang tergeletak dengan rapi diatas marmer abu-abu. Ia kemudian berjalan menuju sebuah lemari pendek di depannya dan mengambil pena serta buku tulis yang sama dari hari ke hari. Membuka pintu dan berjalan perlahan ke arah ruang lounj.



            Di ruang lounj yang bersinar terang bermandikan sinar matahari, Bell berjalan menuju salah satu jendela besar dan membukanya, membiarkan angin hangat memasuki ruangan dan memainkain tirai putih hingga melambai-lambai. Dengan itu, Bell duduk di sofa yang sama dengan posisi yang selalu sama, dengan sebelah kaki diangkat untuk menjadi alas bagi bukunya.

            Sudah beberapa lama ia menulis, namun ia tampak gelisah, setiap suara pintu terbuka terdengar matanya otomatis melirik ke arah lorong yang terlihat dari posisi duduknya. Sekitar satu jam setengah setelahnya ia berhenti menggoreskan penanya diatas kertas kemudian menutup buku tulisnya. Ia menaruhnya diatas pangkuannya dan meregangkan dirinya kemudian bersandar hingga kepalanya menghadap keatas, kearah plafon.

            Ia berhenti menulis karena kehilangan konsentrasi, gelisah, seakan ia menunggu sesuatu-atau seseorang. Baginya seorang penulis yang menulis tanpa konsentrasi penuh atas apa yang tengah ditulisnya hanyalah seorang industrialis yang ingin produknya selesai secepat mungkin tak perduli bagaimana hasil akhirnya. Baginya kehilangan konsentrasi menulis dapat berakibat buruk pada jalan cerita dan karakter yang terdapat di dalamnya, dimana pikirannya tidaklah berada pada ide awal novel tersebut, tapi perasaan penulis saat itulah yang tertuang keatas kertas. Membuatnya tercampur antara seni dan realita. Itu adalah keegoisan yang tabu dalam prinsip yang dianut Bell.

            Selain plafon berwarna putih dengan rumah lampu neon berwarna metalik yang menjorok ke dalam plafon, Bell dapat melihat sebagian jendela besar yang berada di belakangnya, langit yang biru disertai gumpalan awan putih walau hanya sedikit, tarian dari hijaunya daun pohon palem yang berada diluar sana, serta lambaian tirai putih yang disertai dengan nyanyian angin hangat yang bertiup sepoi-sepoi.

            Namun, Bell bangkit dari duduknya kemudian menutup jendela. Memutuskan hubungannya dengan penampilan kecil dari sang alam. Bagi Bell semua itu bukanlah apa-apa, hanya pemandangan yang tak dapat ia raih dengan kedua tangannya sendiri, hanya pemandangan yang tak dapat ia rasakan dengan tubuhnya sendiri, tak berbeda dengan sebuah kotak kaca kecil yang tergantung di sudut kamarnya. Hanya menyajikan mimpi, namun tak membiarkan penonton menggapainya. Ia kembali ke kamar walaupun belum merasa panas.

            Ia berbaring diatas ranjangnya, dengan kedua tangannya dibawah kepalanya menahannya. Menghadap plafon pucat diatasnya ia berpikir

“Mengapa ia tidak datang”

Hanya sekelebat kemudian bertanya

“Apakah kemarin aku hanya bermimpi?”

Ia berganti posisi memiringkan badannya menghadap jendela kamarnya. Sekilas ia melihat bayangan Annabelle, menghadap keluar jendela, seperti saat ia bertemu pertama kali dengannya.

“Hanya ada satu cara untuk memastikannya..”

Saat Bell berbalik dan hendak bangkit dari baringnya, terdengar 3 kali suara ketukan di pintu.

“Siapa itu?”

Namun tidak ada jawaban dari balik pintu meski ada bayangan terlihat dari jendela kecil pintu yang tertutup kaca kabut.

“Masuk saja , tidak dikunci”

Tambah Bell.

            Kemudian terbukalah pintu itu, dan ternyata.. seorang penghuni dari kamar 407 lah yang menjadi pengunjung bisunya.

“Annabelle?”

“Ssst, Anna saja cukup”
Ujar Anna sambil menaruh telunjuk di depan mulutnya sebagai tanda agar Bell memelankan volume suaranya. Anna – seperti ia ingin dipanggil begitu – menutup pintunya.

“Fuuh”
Tanpa basa basi ia langsung duduk di sofa yang berada di sebelah ranjang Bell dan menghela nafasnya.

“Apa?!”
Ujarnya ketus setelah menyadari Bell menatapnya dengan pandangan heran

“Ah, tidak.. hanya saja kupikir tadi rambut dan bukuku akan terbakar matahari di ruang lounj.. jika kau tahu maksudku..”
Jawab Bell sambil duduk di sisi ranjangnya.

“….. er… AH! Ya ampun! Maaf! Kau menungguku ya?”

“Anggap saja begitu”

“Ah benar.. maaf aku tak bisa meninggalkan kakakku begitu saja tadi, hari ini ia akan kembali pergi ke Colombus jadi-“

“Sebentar, Colombus?”

“Ya.. Colombus, Ohio, Amerika, dia seharusnya sedang kuliah disana.. tapi mendengar kabar bahwa aku kolaps.. yah.. dia langsung naik pesawat terpagi untuk melihat keadaanku..”

“Dia kakak yang baik..”

“Ya.. aku tahu itu.. aku paling tahu hal itu..”
Senyum hangat muncul sekejap dari bibir Anna, namun kemudian menghilang setelah ia melanjutkan kata-katanya
“Tapi.. aku belum menyelesaikan alasanku, biar aku lanjutkan dulu ok?”

“Ya, ok.. silakan aku mendengarkan..”

“Ya, hari ini ia pergi kembali ke Colombus, jadi.. dia ingin aku terus berada di sisinya dulu sebelum ia pergi.. bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan kakakku dalam kondisi yang seperti itu?”

“Sebentar, kau bertingkah seakan ia yang sakit…”

“Ah benar juga.. pantas saja saat aku bilang ‘tenang saja, aku berada disini’ dia malah berwajah kesal dan mencubitku.. hahaha”

“Hahaha..  oh ya, ngomong-ngomong kenapa kau bisa berada disini?”

“Ya tentu saja karena aku mengunjungimu bodoh”

“Bukan, maksudku, kenapa kau bisa terdampar di RS ini?”

“Tentu saja karena sakit”

“Aduh… maksudku sakit apa?”

“Hahaha bercanda,bercanda.. tapi kata ibuku sebelum bertanya nama orang lain, perkenalkan dulu namamu?”

“Jadi.. apa yang seharusnya kuperkenalkan? Namaku.. Bell?”

“Bukan, maksudnya beritahukan dulu penyakitmu, baru aku mau menjawab!”

“Hahaha.. kena kau aku membalasmu!”

“Ah dasar pendendam! Baiklah sudah impas, sekarang apa penyakitmu?”

“Er.. kenapa malah sekarang kau yang balik bertanya?”

“Sudahlah jawab saja!”

“Kelahiran juli,.”
Bell melanjutkan dengan menunjuk kepalanya.

“Maksudmu.. kau jadi gila di bulan juli?”

“Ya ampun.. kau tak tahu metafora ya?”

“Tahu, aku hanya bercanda hahahaha ok ok, aku mengerti kok”

“Lalu bagaimana denganmu?”

“Aku? Sama denganmu hanya saja..”
“Fuaaah..”
Anna menarik nafasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya. Mimik wajah Bell terlihat heran.

“Kau merokok?”

“Tidak, Ya.. itu dulu sih, tapi aku sudah berhenti”

“Aku bertaruh kau baru berhenti saat mengetahui penyakitmu ini”

“Sebetulnya.. ya.. jika saja… aku perokok, tapi kenyataannya adalah aku tak pernah merokok!”

“Ha? Tapi..? Kau? Huuuf Fuaaah?”
Ujar Bell bertanya penuh kebingungan sambil tangannya bergerak memberi isyarat.

“Bodoh, tidak semua penderita penyakitku akibat merokok! Tapi bisa juga dari faktor genetika, dan lain lain.. tapi kasusku memang akibat merokok”

“Aku agak tersesat disini.. kau bilang tidak merokok, tapi kau sakit akibat merokok.. aku tak mengerti?”

“Ya tentu saja, karena papaku yang merokok! Dia perokok berat, rumahku jadi seperti kebakaran dengan asap dimana-mana.. selain aku selalu dekat dengan papa dan menghirup asap rokoknya meski mama selalu menyuruhnya berhenti, nenekku juga mengidap penyakit yang sama denganku, dan sepertinya gen itu turun dari nenekku kepadaku.. jadilah aku sekarang ini!”

“Oh.. wow.. kondisi sempurna.. jadi apa sekarang papamu berhenti merokok?”

“Oh, tentu tidak, selalu ada alasan baginya untuk merokok. Misalnya sewaktu dulu kakakku selalu bolos dan mendapat nilai jelek, papaku menjadi stress dan terus merokok. Kemudian setelah mamaku berdiskusi dengan papaku, jika mama berhasil mengubah kakak, papa akan berhenti merokok, ternyata benar, mama berhasil, kakak berubah..”

“Lalu?”

“Ok, papa berhenti merokok.. sejenak.. kemudian ia kembali merokok lagi karena stress nenek sakit.., lama kemudian nenek sembuh, papa berhenti..”

“Kemudian merokok lagi?”

“Tentu, saat kakak bilang ia ingin kuliah di luar negeri setelah mendapat invitasi, papa menjadi stress lagi, dan ia mulai merokok kembali.. pada akhirnya kakak bisa meyakinkan papa, ok papa berhenti..”

“Ya ampun..”

“Tunggu, aku belum selesai, kemudian setelah kakak pergi, papa stress karena khawatir.. kemudian ia merokok lagi.. tapi setelah memasang internet dan dapat melakukan video call, papa kembali tenang.. ia berhenti merokok..”

“Lalu ia merokok kembali karena stress anak keduanya jatuh sakit karena hal yang disukainya, merokok”
Sela Bell menebak

“Tepat sekali.”

“Jadi sekarang ia masih merokok?”

“Tentu, tapi sekarang ia tak merokok lagi di depanku, papaku memang perokok berat namun herannya ia tak mendapat penyakit paru-paru.. malah aku yang kena.. papa benar-benar.. sangat kusayangi..”

“…”
Bell hanya bisa terdiam melihat wajah Anna yang tersenyum sedih, dari matanya seakan keluar sinar kasih sayang untuk dan dari papanya, ibunya, dan kakaknya, bahkan neneknya dan seluruh keluarganya. Anna adalah seorang gadis yang penuh dengan kasih sayang.

“Lalu bagaimana denganmu?”
Tanya Anna mendadak

“Aku apa?”

“Ya tentu saja kepalamu itu”

“Oh, ini.. ini karena keturunan..”

“Oh ya? Dari siapa?”

“Ayahku.. dia mengidap penyakit sel bodoh ini juga..”

“Ooo.. lalu bagaimana keadaannya sekarang?”

“Hahaha… sudahlah.. jangan berkata bodoh.. tak ada yang selamat dari penyakitku ini..”

“… Ma- maaf.. aku tak tahu..”

“Tenang, lagipula ia sudah pergi sejak 10 tahun yang lalu.. sekarang aku hanya memiliki ibuku dan adikku..”

“Adik? Kau punya adik?”

“Ya.. baru saja kubilang..”

“Wow!”

“Memangnya sangat mengejutkan?”

“Ya.. aku hanya tak pernah menyangka kau punya adik!”

“Ternyata aku memang terlihat begitu kesepian ya…”

“Memang! Waktu pertama kali ke ruang lounj saja kupikir tak ada orang!”

“W..ow.. aku terkesan dengan penghinaanmu.. normalnya orang akan memberiku alasan untuk menyemangatiku.. tapi kau.. benar-benar tak punya hati.. ya ampun..”

“Jangan remehkan aku ya!”

“Jangan malah merasa bangga..”
Bell yang pusing melihat tingkahnya menutup wajahnya dengan tangan kanannya.

“Tidak, aku serius, untuk apa aku berbohong.. tidak ada untungnya untukku! Aku benci kepalsuan, apa kau suka kepalsuan?”

“Tidak..”

“Nah begitu..”

“Begitu apa?”

“Begitulah pokoknya!”

“Hahaha.. konyol..”

“Eh, sebentar..”
Anna melihat jam dinding di depannya menunjukkan bahwa hari sudah siang

“Ya ampun, sudah jam segini.. nanti Suster Tira marah aku tak ada di kamar waktu check-up..”

“Memang Suster Tira itu mengerikan! Aku pernah diseret kembali ke kamar sewaktu sedang keasyikan menulis novel hingga tak sadar punggungku sudah memanas dan penuh keringat”

“Hahaha dia memang agak gila ya?”

“Betul”

“Baiklah, kalau begitu aku tak mau jadi korban psikopat.. aku kembali dulu ya!”

“Ya, bye”

Anna berjalan menuju pintu dan membukanya, tapi saat ia menghadap Bell di saat hendak menutup pintu kamarnya..

“Sampai nanti ya!”

“Baik”

Pintu tertutup, namun kembali terbuka

“Sampai besok jika Suster Tira menggila”

“Ya aku mengerti!”

Pintu tertutup kembali, namun juga kembali terbuka

“Oh ya, besok aku janji tak akan lupa atau telat ke lounj ok?”

“Ya, OK, sudah sana nanti ketahuan!”

Pintu tertutup sekali lagi, namun juga kembali terbuka sekali lagi

“Ya ampun apa lagi?”
Tanya Bell jengkel

“Eeeh…….”

“Sudah sana! Nanti Suster Tira benar-benar datang!”

“Sudahlah”

*Brak*

Akhirnya pintu tertutup dengan tenang. Bell hanya dapat menghela nafas dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah Anna, Annabelle hari ini. Meski begitu entah mengapa ia ingin bicara lebih banyak dengannya lagi.

*Brak*

Pintu kembali terbuka dan Anna terlihat di sana membuka pintunya, Bell hampir melompat karena kaget.

“Ya ampun! Jangan membuatku kaget!”

“Maaf, maaf, hanya saja tadi aku lupa membaca novelmu, maaf ya! Byee!”

*Brak*

Kali ini pintu tertutup kembali. Meninggalkan Bell yang masih berdebar-debar karena kaget.

No comments: