Monday, April 19, 2010

Just A Little Fairy Tale For You - Chapter 1. The Princess and Her White Castle

Chapter 1. The Princess and Her White Castle


            Gedung Itu adalah sebuah bangunan kokoh berwarna putih setinggi 5 lantai dan berdiri dengan angkuh diantara atap-atap merah dari perumahan yang mengelilinginya. Orchard International Hospital, itulah nama dari gedung itu, gedung yang telah menjadi rumah kedua bagi Bell, sejak 2 bulan yang lalu dari banyak rawat inap sebelumnya. Tapi kali ini lebih panjang dari yang telah berlalu.





            Bell, seorang laki-laki yang tahun ini akan berumur 21 tahun. Tahun barunya ia isi dengan berbaring di ranjang rumah sakit, menonton acara tahun baru tak bermutu dari televisi yang menggantung di sudut kamarnya. Ulang tahun-nya ia isi dengan general check-up yang sama sekali tak menggembirakan, dimana ia harus menghadapi jarum suntik, sinar-X, dan MRI.
           
            Bell tidak bahagia, namun ia harus bertahan kepada segala hal yang berbau rumah sakit karena kanker otak yang dideritanya sejak lahir. Bell terlahir dengan kanker, begitu pula ayahnya yang telah meninggal 10 tahun lalu. Bell tidak bahagia saat itu, dan tak berubah hingga saat ini. Akan tetapi ia mengingat nasihat terakhir ayahnya “Jangan pernah kalah dari penyakit ini, ini adalah tubuhmu, kau harus menang! Dan kau akan melihat bagaimana aku dapat bertahan dari penyakit brengsek ini!” setelah itu, esoknya ia meninggal. Dan Bell semakin tidak bahagia.

            Tapi setidaknya, Bell memiliki motivasi. Bell memiliki motivasi untuk terus hidup dan menjadi seorang novelis. Baginya menulis novel adalah sebuah media untuk mencurahkan jiwanya yang terkekang oleh penyakit yang ia pikul, ia merasakan kemerdekaan dan kebebasan saat ia tengah menulis novelnya. Dimanapun, jika ada kesempatan ia selalu menyempatkan diri untuk menulis novel, tak terkecuali di rumah sakit, Orchard International Hospital.

**

            Hari itu adalah hari minggu yang seperti biasanya, bulan april, dua bulan menuju ulang tahunnya yang ke-21. Seperti biasa, setelah menyantap sarapannya, Bell segera membawa sebuah buku tulis dan pena menuju ruang lounj yang berada di ujung lorong. Ruang yang juga bercat putih berkilap dan berlantai marmer abu-abu itu sama persis dengan kamarnya, hanya saja ruang itu tidak memiliki pintu tetapi jendela yang besar yang membuat sinar matahari pagi dapat masuk dan menerangi ruangan itu. Dokter bilang sinar matahari bagus untuk kesehatan Bell, ia juga berpikir begitu, namun jika ia sudah merasa terlampau panas atau lelah, ia harus segera kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Bell mengerti hal itu.

            Bell duduk di salah satu sofa panjang berwarna hitam yang nyaman, ia duduk sambil mengangkat sebelah kakinya untuk menjadi alas bagi bukunya agar ia dapat menulis dengan mudah. Sejak menjalani rawat inap, ia selalu sendirian di ruangan itu, namun kali ini ia mendengar seseorang membuka pintu kamar, kemudian suara langkah kaki terdengar menuju dan memasuki ruang lounj, namun Bell tak acuh untuk melihat siapa yang datang karena ia tengah berkonsentrasi penuh mengecek novelnya, hingga..

“Cuacanya cerah ya?”

Suara itu mengagetkan Bell yang menengok ke kanan dan kiri mencari-cari darimana asal suara itu. Kemudian ia melihat di belakangnya tengah berdiri seorang gadis dengan piyama rumah sakit memunggunginya menghadap jendela besar. Bell menutup bukunya sejenak dengan menggunakan pena nya sebagai pembatas halaman.

“Ah.. ya.. ini bulan april, memang seharusnya cuaca cerah..”

“Ruangan ini bagus ya?”

“Ya..”

Bell menjawab sambil bertanya-tanya siapa gadis berambut sepanjang punggung ini, ia tak pernah melihatnya berada di RS ini hingga hari ini.

“Kalau kau tidak mengenalku, itu wajar, aku baru saja datang malam ini.. berkat kolaps yang membuat sikuku menjadi biru.. ugh..”

Seakan dapat membaca pikiran Bell, gadis itu berkata demikian.

“Oh.. begitu , tidak apa-apa. Lagipula aku tidak pernah mengenal pasien-pasien disini..”

Gadis itu menghadap Bell kemudian melihat buku yang berada di pangkuannya.

“Jadi.. kulihat kau membawa buku.. apakah kau membaca sesuatu?”

“Ah ini, tidak.. ini buku tulis.. aku hanya sedang mengecek tulisanku..”

“Tuli..sanmu? Jadi kau seorang.. penulis?”

“Ya.. lebih tepatnya, aku menulis novel..”

“Jadi kau seorang novelis?”

“Wow! Aku tak menyangka akan bertemu seorang novelis di tempat seperti ini.. jadi.. cerita apa yang kau tulis?”

Gadis itu tampak senang dan langsung duduk di atas sofa yang sama dengan Bell, persis di sebelahnya.

“…”

Bell tidak menjawab, ia hanya membuka setengah bibirnya seolah menahan sesuatu yang ingin ia ucapkan.

“Ah ya maaf, aku lupa novelis tak boleh memberitahukan isi dari novel yang belum ia terbitkan kepada orang yang baru saja ia kenal, maaf”

“Ah, bukan-bukan, aku hanya agak terkejut, silakan kau baca sendiri..”

“Apa? Benarkah? Baiklah.. mari kita lihat.. hehe..”

“Tapi.. aku akan sangat menghargai jika kau tidak mentertawainya..”

“Mentertawai hasil karya orang? Aku? Tidak mungkin!”

“Baiklah, aku ingin percaya.. silakan baca novelku..”

“Baik… mari kita mulai membaca…”

Gadis itu mulai membaca novel Bell dengan senyum riang di wajahnya seolah ia baru saja berbagi rahasia dengannya.


            Suatu hari, di suatu negeri nun jauh disana, ada seorang putri raja yang sangat cantik bernama Putri Annamaria. Putri Annamaria tinggal di istana putih yang megah dan cantik, dengan berhiaskan berbagai macam bunga yang harum wanginya. Namun, ia hidup dalam kekangan. Ratu Svetlana, sang ibu tiri yang kejam baru saja menggantikan sang Raja ayahanda Putri Annamaria yang telah meninggal beberapa bulan yang lalu.

            Suatu hari, seorang pemuda tampan yang menunggangi kuda putih datang bersama pasukannya ke istana putih, dan rupanya, ia adalah Pangeran Edward dari negeri tetangga. Disaat Ratu Svetlana tengah mengajak Pangeran Edward berkeliling istana, ia tak sengaja bertemu dengan Putri Annamaria. Mereka bertatapan, hanya saja belum sempat ia menyapa sang Putri, Ratu Svetlana sudah memanggil Pangeran Edward.  Ia tak dapat berbuat apapun karena saat ini ia adalah tamu dari Ratu Svetlana, bukan putri cantik tak dikenal tadi.

            Saat hendak pulang ke negerinya, Pangeran Edward bertanya kepada Ratu Svetlana siapakah gadis cantik yang ia lihat saat tengah mengelilingi istana. Ratu Svetlana berkata bahwa gadis itu adalah Putri dari suaminya, Sang Raja. Kurang puas dengan jawaban Sang Ratu namun tak bisa meminta lebih ia segera pamit kepadanya dan berkata “Jika Ratuku berkenan, bolehkah Ratuku sampaikan salamku pada Putri itu siapapun namanya?”. Ratu Svetlana hanya tersenyum tak menjawab, kemudian Sang Pangeran pun kembali ke negerinya. Tanpa ia ketahui Puteri Annamaria tersenyum gembira mendengar kata-katanya yang sengaja ia keraskan.

‘Jika memang takdir, maka aku akan bertemu kembali dengannya suatu hari nanti’

Ujar Pangeran Edward dengan penuh keyakinan sambil terus menunggangi kudanya menuju arah matahari yang tengah terbenam.



Gadis itu menutup buku tulis Bell tanpa lupa menggunakan pena nya sebagai pembatas halaman, kemudian ia menatap Bell sambil mengembalikan bukunya.

“Apa ini.. ini.. sejenis..”

“Dongeng..”
Sela Bell.

“Hahaha.. dongeng.. kau menulis sebuah dongeng.. hahaha”

Bell hanya menatap gadis yang tengah tertawa terbahak-bahak di depannya dengan pandangan seperti merasa terganggu.

“Hahaha- ah maaf aku lupa aku sudah berjanji..”

“Tidak apa-apa.. mungkin aku memang terlalu macho untuk menulis dongeng..”

“Macho? Kau terlalu kurus untuk menjadi macho! Hahaha bercanda..”

“Yayaya.. tapi bagiku itu adalah sebuah Seni.”

“Maaf, Seni?”

“Ya, Seni, dan akhir-akhir ini semakin hilang..”

“Aku tak mengerti? Apa maksudmu dengan Seni dan semakin menghilang?”

“Begini.. kau tahu? Ada 2 jenis novel di dunia ini. Seni dan Industri. Pada 10 tahun terakhir ini nyaris semua novel berpikir secara industrialis, mereka menulis dengan menyesuaikan permintaan pasar, jika pasar menginginkan roman, mereka beramai-ramai menulis roman, jika pasar menginginkan fiksi, maka ramai-ramai mereka menulis fiksi, mereka menulis seolah novel adalah sebuah komoditi pasar seperti.. televisi atau mobil. Mereka tidak lagi menulis atas dasar kebebasan hati mereka. Oke, sebagian kecil memang menulis atas dasar keinginan mereka sendiri bukan pasar, namun di tengah jalan, atau setelah melewati fase ide, mereka menyesuaikan kembali tulisan mereka dengan keinginan pasar, dan itu hanya merupakan hibrid Seni-Industri ke arah yang buruk.”

“W..ow.. sekarang kau terdengar pintar di telingaku.. bisa kau sebutkan.. contoh dari masing-masing ‘jenis’ yang kau katakan tadi?”

“Industri, semua teenlit cinta monyet di luar sana”

“Wow.. itu kasar sekali..”

“Maaf, tapi aku tak bisa menahan diri dalam topik ini..”

“Ok.. lanjutkan..”

“Hibrid, Harry Potter dan sebangsanya. Oke cerita tentang penyihir, dunia yang unik terdiri dari penyihir, setengah-penyihir, dan manusia biasa, sihir-sihir yang tidak berlebihan tapi tampak konyol, oke itu bagus. Tapi.. mengapa harus remaja? Bukankah lebih mudah jika tokohnya seorang nenek sihir, paling tidak.. berumur 40an lah seperti penulisnya.. apakah ia takut pasar tak menginginkan cerita seorang nenek sihir? Ataukah ia tahu bahwa remaja adalah golongan yang paling mudah untuk dikeruk uangnya dengan mengetahui bahwa mereka lebih menyukai tokoh utama yang seumuran dengan mereka? Pada akhirnya sebuah karya seni yang ia buat berubah menjadi setumpuk mesin pengeruk uang belaka..”

“Ok.. kau mulai meyakinku.. bagaimana dengan Seni?”

“Seni? Sedikit yang dapat kuberikan namun.. ah ya, semua buku Stephen King.”

“Stephen King? Kenapa?”

“Karena apa? 1. Horor, 2. Horor, 3. Horor”

“Aku masih tak mengerti?”

“Begitulah, dedikasi seumur hidupnya ia curahkan untuk menulis horor, karena memang itulah yang ingin ia tulis! Ia tidak pernah peduli kepada pasar, ia terus menulis horor, horor, dan horor dan memiliki tidak sedikit penggemar, itulah karya seni sejati! Uhuk uhuk-Maaf aku jadi berapi-api..”

“Hooo begitu.. kalau begitu aku buang saja sequel S|L yang baru saja kubeli ini ya? Bagaimana menurutmu?”

Ujar gadis itu sambil menaruh buku yang ia sembunyikan di balik punggungnya sejak tadi.

“Er.. meski itu termasuk hibrid.. tapi aku cukup menyukainya.. karena aku juga membacanya.. hahaha”

“Hahaha.. dasar egois.. baiklah, lalu apa kau ingin menjadi penulis berseni?”

“Tentu.. salah satu keinginanku adalah menjadi penulis berseni seperti Stephen King..”

“Wah.. aku jadi tertarik membeli bukumu.. sudah berapa buku yang kau terbitkan? Aku jadi ingin mengoleksinya siapa tahu kau akan terkenal internasional nanti hahahaha”

“Belum ada..”

“Haha- apa?”

Gadis itu berhenti tertawa dan terlihat terkejut mendengar jawaban cepat dari Bell.

“Kubilang.. belum.. aku belum pernah menerbitkan satu novelpun.. namun aku menginginkannya..”

“Ka-kau mengatakan semua hal ‘pintar’ tadi padahal kau bahkan belum menerbitkan satupun tulisanmu? Buahahahaha ini baru lelucon besar yang dapat membuatku tertawa terbahak-bahak”

“Baiklah.. silakan tertawa, aku akan lanjut menulis..”
Bell membuka buku tulisnya dan mulai mengangkat penanya dan menundukkan wajah marahnya.

“Tunggu jangan marah dulu, kita bahkan belum berkenalan, siapa namamu?”

“Namaku Bell dari kamar 402 kau cukup memanggilku begitu saja, dan kau?”

“Wah, namamu setengah dari namaku”

“Maaf?”

“Ya, namaku Annabelle , maka jika namamu Bell namamu adalah setengah namaku! Ya kan?”

“Ah.. ya ya.. benar.. bahkan jika ‘belle’ darimu berbeda dengan ‘Bell’ dariku secara derivatif ‘Bella’ dan ‘Bell’, oh bahkan tulisannya berbeda ‘belle’ dan ‘Bell’.. ah tunggu, apakah namaku memang setengah dari namamu?”

“Ah, kau jahat! Yang jelas penyebutannya sama.. apa itu sebutannya.. homo.. homo..”

“Stop. Jangan menahan kata-kata dibagian ‘homo’, aku merasa.. agak terganggu mendengarnya hahaha”

“Hahaha.. mau bagaimana lagi.. aku lupa apa sebutannya, kau tahu?”

“Homofon”

“Ah ya benar! Homofon.. kenapa aku baru ingat sekarang?!”

“Mungkin karena aku yang bilang tadi?”

“Hahaha.. kau benar..”

Sayup-sayup terdengar suara dari kejauhan yang memanggil-manggil nama Annabelle, dan ternyata suara itu berasal dari seorang wanita muda yang baru saja keluar dari sebuah kamar.

“Ah, maaf.. aku harus kembali sekarang.. aku hanya bilang ingin mencari udara segar sebentar saja kepadanya.. sampai jumpa..”

Annabelle berdiri dari duduknya, ia berjalan kembali menuju kamarnya, tetapi di tengah jalan ia menengok kepada Bell dan berkata

“Hei, senang mengenalmu, nanti kita ngobrol lagi ya?”
Kemudian ia melambaikan tangannya.

            Bell hanya bisa tersenyum dan membalas melambaikan tangannya, Ia hendak melanjutkan menulis novelnya, namun sinar matahari sudah terlalu panas menyengat punggungnya. Ia menutup buku tulisnya dan memasukkan penanya ke kantung bajunya, bangkit dari duduknya, kemudian berjalan kembali menuju kamarnya. Saat hendak membuka kamarnya, ia melihat kamar 407 yang berjarak 2 kamar di sisi yang berhadapan dengan kamarnya. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata dalam hatinya “Gadis itu.. benar-benar aneh..” kemudian masuk dan menutup pintu kamarnya.

            

No comments: